Tan Malaka, Pahlawan Nasional Manusia dengan 23 Nama Samaran

PANTAU JAKARTA- Tan Malaka Malaka (lahir dengan nama Ibrahim Datuk Tan Malaka pada 2 Juni 1897 - meninggal pada 21 Februari 1949) merupakan pahlawan nasional Indonesia. Ia mendapatkan keturunan bangsawan dari ibunya yang membuatnya diberi gelar Datuk Sutan Malaka. Berdasarkan penuturan sejarawan Albert Poeze, Tan Malaka menghabiskan masa mudanya bersekolah di Rijks Kweekschool Fort de Kock, yang kini telah menjadi SMA 2 Bukittinggi. Ia yang bercita-cita sebagai guru pun melanjutkan studinya di Belanda.
Tan adalah seorang tokoh revolusioner Indonesia yang berperan dalam gerakan kemerdekaan Indonesia pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Ia dikenal sebagai salah satu pemikir dan ideolog terkemuka dalam gerakan sosialis dan komunis di Indonesia.
Seperti diketahui Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatra Barat pada tahun 1897. Ayahnya adalah seorang imam agama Islam dan memiliki gelar sarjana dari Arab Saudi. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Tan Malaka melanjutkan studinya di sekolah menengah Islam di Sumatra Barat. Ia kemudian melanjutkan studinya di Belanda dan meraih gelar doktor dalam bidang ekonomi dari Universitas Amsterdam pada tahun 1921.
Dalam perjalanannya menggapai impian, ia justru mengalami petualangan panjang atas idealismenya yang akhirnya membawanya menjadi buronan. Albert Poeze juga menyebut Tan Malaka sebagai buronan abadi.
Sejak 1924 hingga nafas terakhirnya, Tan Malaka menghabiskan waktu untuk meloloskan diri dari dinas rahasia Belanda hingga tentara Indonesia. Hal itu menjadikannya sebagai penyamar ulung.
Ia memiliki 23 nama samaran untuk mengelabuhi polisi dan jajaran pemerintahan kolonialis dan imperialis, seperti Amerika Serikat, Belanda, Jepang, dan Inggris. Kemampuannya itu didukung oleh kepiawaiannya menguasai delapan bahasa, yakni Minang, Indonesia, Tagalog, Belanda, Rusia, Jerman, Mandarin, dan Inggris. Berikut adalah lima dari 23 nama samaran dari pahlawan yang memiliki kalimat populer 'Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk':
Setelah kembali ke Indonesia, Tan Malaka aktif dalam gerakan nasionalis dan mendirikan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920. Ia juga terlibat dalam Gerakan 30 September 1926 yang memproklamirkan pemerintahan revolusioner Indonesia di Sumatra Barat. Namun, ia kemudian ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dan diasingkan ke Belanda pada tahun 1927.
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1946, Tan Malaka terus aktif dalam gerakan nasionalis dan komunis. Ia menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan mendirikan Partai Murba pada tahun 1948. Namun, pada tahun yang sama, ia ditangkap oleh pemerintah Indonesia dan dieksekusi di Bukit Tigapuluh pada 21 Februari 1949.
Tan Malaka diakui sebagai salah satu pemikir terkemuka dalam gerakan sosialis dan komunis di Indonesia. Karya-karyanya yang terkenal antara lain "Madilog" dan "Naar de Republiek Indonesia". Ia juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang karismatik dan dihormati oleh banyak pengikutnya.
Secara keseluruhan, Tan Malaka adalah seorang tokoh revolusioner yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan mengadvokasi ideologi sosialis dan komunis. Walaupun ia sering kontroversial, karya-karyanya telah memberikan kontribusi besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia dan mempengaruhi gerakan sosialis di Indonesia hingga saat ini.
Menjadi Buronan
Tan Malaka menjadi buronan di beberapa negara. Tidak jarang dia dijebloskan ke dalam penjara karena pemikirannya. Pemikiran yang mengilhami berdirinya Republik Indonesia.
Lantaran selalu masuk dalam daftar buronan di beberapa negara, tak heran jika Tan Malaka memiliki 23 nama samaran.Seperti tertulis buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Nama samaran digunakan dari satu tempat ke tempat lainnya. Nama-nama tersebut disesuaikan dengan negara yang akan menjadi tujuan Tan Malaka.
Pada Juni 1925, Tan masuk ke Manila dengan memakai nama alias Elias Fuentes karena sakit paru-paru. Tan menulis buku Massa Actie yang mengilhami gerakan-gerakan di awal kemerdekaan ditulisnya saat di Singapura pada awal 1926. Saat menetap di Singapura, Tan memakai nama samaran yakni Hasan Gozali. Dia mengaku berasal dari Mindanao, Filipina.
Saat pergi ke Shanghai pada 1930, tulis merdeka.com, Tan menggunakan nama samaran Ossario. Berprofesi sebagai wartawan asal Filipina. Dua tahun berselang Tan pindah ke Hongkong karena perang Cina-Jepang. Tan ditangkap di Hongkong dan dibuang ke Shanghai. Penangkapan inilah yang membuat Poeze mengetahui tinggi badan Tan berdasarkan berkas penangkapannya.
Sebelum kembali ke Indonesia pada tahun 1942, Tan menetap agak lama di Singapura. Terhitung sejak 1937 sampai 1942. Di Singapura, Tan bekerja sebagai guru di sekolah Tionghoa. Penyerangan Jepang ke wilayah Asia Tenggara merupakan momentum Tan untuk kembali ke tanah air.
Sebelum kembali ke Indonesia, Tan mengawali perjalanannya dari Penang, Malaysia. Dia mulai menggunakan nama samaran Hussein (Legas Hussein). Tan tiba di pulau Sumatera dan mampir di Padang dengan mengaku sebagai Ramli Husein.
Bulan Juli 1942 Tan sampai dan menetap di Jakarta dan menyelesaikan Magnum Opusnya Madilog. Sekitar satu tahun, Tan pindah ke Bayah, Banten Selatan dengan mengaku sebagai Ilyas Hussein. Dia mendaftar menjadi Kerani dipertambangan batu bara. Nama Ilyas Hussein ini tetap digunakan saat menemui Sukarni untuk pertama kali di rumahnya.
Ketika sedang di Indonesia setelah bepergian dari negara-negara Eropa dan Asia, Tan menggunakan nama samaran Hussein. Nama tersebut kemudian dikembangkan menjadi tiga nama. Yakni Legas Hussein, Ramli Hussein, dan Ilyas Hussein.
Bahkan saat ingin bertemu beberapa tokoh Republik Indonesia, Tan Malaka tidak pernah sekalipun membocorkan identitas aslinya. Alasannya kewaspadaannya. Dengan cara itu juga Tan bisa mengetahui apakah tokoh yang ditemuinya mengenali ide-ide politiknya. Dia pernah berkata akan membuka identitasnya di saat yang tepat.
"Saya masih menunggu kesempatan yang lebih tepat," ungkap Tan dalam memoar Dari Penjara ke Penjara.
Dicurigai Sebagai Intel Jepang
Pada awal Juni 1945, Tan bertamu ke rumah Sukarni dan sempat dicurigai sebagai mata-mata Jepang. Penyebabnya, Tan memperkenalkan diri sebagai Ilyas Hussein yang berasal dari Bayah, Banten Selatan.
Sebagai tamu asing dari daerah pedalaman, Hussein menyampaikan analisis dan ulasannya tentang proklamasi kemerdekaan. Analisisnya sangat memukau. Setelah mendengar penyampaian Hussein, Sukarni merasa sepemahaman. Karena sesuai dengan yang selama ini dipelajari dari tulisan-tulisan Tan Malaka.
Sukarni sempat menaruh curiga pada Hussein (Tan Malaka). Dengan pemikiran itu, Hussein tidak mungkin hanya orang biasa. Bisa jadi, seorang agen intelijen negara lain.
"Ia takut kalau Hussein mata-mata Jepang," ungkap Anwar Bey seperti dikutip dalam buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan.
Abdul Radjak Bertemu Sukarno
Pada 9 September 1945, Tan Malaka berhasil bertemu dengan 'Sang Proklamator' Sukarno. Sebelumnya, tiga minggu setelah proklamasi, Sayuti Melik diberikan tugas oleh Sukarno untuk mencari Tan Malaka.
Setelah menerima tugas itu, Sayuti Melik bertemu Ahmad Soebardjo. Sulit menemukan Tan Malaka karena memiliki banyak nama samaran. Ahmad Soebardjo membantu Sayuti Melik untuk menemukan sosok Tan Malaka.
"Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu," seperti dikutip dalam buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan.
Sukarno meminta dokter pribadinya, yakni Soeharto untuk menyediakan tempat pertemuan. Namun Sukarno tidak membocorkan identitas tamu yang akan ditemuinya. Alias dirahasiakan. Kepada Soeharto, Tan memperkenalkan diri sebagai Abdul Radjak.
Semua lampu padam saat Soekarno dan Abdul Radjak bertemu pada malam hari. Ketika bertemu, Sukarno langsung mengajukan beberapa pertanyaan mengenai salah satu buah pikirannya, yakni Massa Actie.
Bung Besar menitipkan pesan pada Tan Malaka. Agar melanjutkan revolusi jika Bung Karno sudah tidak mampu lagi. Inilah awal rencana pemberian Testamen untuk Tan Malaka yang nantinya akan dihancurkan oleh Sukarno sendiri.
Tan Malaka Gadungan
Sosok Tan Malaka tidak begitu dikenal. Orang-orang hanya mengenal buah pikirannya saja. Tidak dengan fisiknya. Akibatnya, banyak bermunculan Tan Malaka gadungan. Mereka yang mengaku sebagai Tan punya kepentingan. Baik finansial atau ingin terkenal.
Contohnya saat November 1945. Muncul sosok Tan Malaka gadungan di Surabaya. Dia berdiri di atas panggung dan berorasi. Pidatonya disiarkan stasiun radio lokal. Ketika Tan Malaka yang asli sampai di Surabaya, dia justru ditahan para aktivis.
Tan Malaka gadungan juga muncul pada tahun 1949. Padahal saat itu, Tan Malaka asli dikabarkan sudah meninggal. Nama Tan Malaka muncul dalam sebuah wawancara koran lokal di Kediri, Jawa Timur. Sosok Tan Malaka palsu mudah diketahui karena pemikirannya yang aneh.
"Jawaban-jawab dalam wawancara juga tak sesuai dengan pemikiran Tan Malaka," ungkap Harry Albert Poeze seperti dikutip dalam buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan.***
Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0813 6366 3104
atau email ke alamat : pantauriau@gmail.com
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan PANTAURIAU.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan
Tulis Komentar