Cindua Mato: Cinto dan Kuaso
Oleh: Wahyu Saptio Afrima
Di jantung Minangkabau yang hijau dan subur, berdiri megah Kerajaan Pagaruyung.
ISTANA keemasan menjulang tinggi, dikelilingi bukit-bukit yang menjaga kedamaian negeri. Raja Alam Muningsyah duduk di singgasananya, memandang jauh ke cakrawala. Wajahnya yang bijaksana menyiratkan keresahan.
"Dang Tuanku," sapa Bundo Kandung, ibunda sang raja. "Apa yang mengganggu pikiranmu?"
Raja Alam menghela nafas.
"Ibu, aku memikirkan masa depan kerajaan ini. Siapa yang akan meneruskan tahta Pagaruyung?"
Bundo Kandung tersenyum lembut. "Jangan khawatir, anakku. Takdir akan menunjukkan jalannya."
Tak jauh dari istana, seorang pemuda bernama Cindua Mato sedang berlatih silat. Gerakannya lincah bagai angin, namun kuat bagai karang. Ia adalah keponakan dan pengawal setia Raja Alam.
"Cindua Mato!" panggil seorang gadis cantik. "Sudah waktunya kita ke istana."
Gadis itu adalah Puti Bungsu, adik Raja Alam yang cantik jelita. Cindua Mato mengangguk, lalu mereka berjalan beriringan menuju istana.
Di aula utama, Raja Alam duduk bersama para petinggi kerajaan.
Wajahnya serius. "Saudara-saudaraku," ujarnya. "Aku telah memutuskan untuk mengadakan sayembara. Siapa yang berhasil mengalahkan Cindua Mato dalam pertarungan, akan kunikahkan dengan adikku, Puti Bungsu."
Berita itu menyebar cepat ke seluruh penjuru negeri.
Para pangeran dan ksatria dari berbagai kerajaan berdatangan ke Pagaruyung. Mereka semua berharap dapat memenangkan hati sang putri.
Hari pertandingan pun tiba. Arena pertarungan telah disiapkan di halaman istana. Para penonton bersorak-sorai menyaksikan aksi para peserta.
Satu per satu, para ksatria gagah berani maju melawan Cindua Mato. Namun, tak ada yang mampu menandingi kehebatan pemuda itu. Setiap gerakan Cindua Mato penuh perhitungan, setiap serangannya mematikan.
Di sisi arena, Puti Bungsu memandang dengan hati berdebar. Ia mengagumi keberanian dan keterampilan Cindua Mato. Diam-diam, ia berharap tak ada yang mampu mengalahkan pemuda itu.
Hari demi hari berlalu, namun belum ada yang berhasil menaklukkan Cindua Mato.
Raja Alam mulai gelisah. Ia takut keputusannya akan membawa malapetaka bagi kerajaan.
Suatu malam, Bundo Kandung memanggil Cindua Mato ke kamarnya. "Anakku," ujarnya lembut. "Kau telah menunjukkan kehebatanmu.
Tapi ingatlah, kekuatan sejati bukan hanya terletak pada otot dan keterampilan. Ia ada dalam hati yang bijaksana dan jiwa yang luhur."
Cindua Mato termenung. Ia paham maksud Bundo Kandung. Selama ini, ia hanya fokus pada kemenangan, tanpa memikirkan dampaknya bagi kerajaan.
Keesokan harinya, seorang pangeran dari kerajaan tetangga datang. Tubuhnya tinggi besar, auranya memancarkan kekuatan.
"Aku Pangeran Imbang Jayo," ujarnya lantang. "Aku datang untuk mengalahkan Cindua Mato dan mempersunting Puti Bungsu!"
Pertarungan pun dimulai. Pangeran Imbang Jayo menyerang dengan ganas.
Cindua Mato mengelak dan membalas. Keduanya seimbang.
Di tengah pertarungan, Cindua Mato teringat kata-kata Bundo Kandung. Ia memandang sekeliling, melihat wajah-wajah cemas para penduduk. Ia sadar, pertarungan ini bukan hanya tentang dirinya.
Dengan gerakan cepat, Cindua Mato menjatuhkan senjatanya. "Hamba mengaku kalah," ujarnya lantang.Keheningan menyelimuti arena. Semua terkejut dengan keputusan Cindua Mato.
Raja Alam bangkit dari kursinya. "Cindua Mato, mengapa kau menyerah?"
Cindua Mato berlutut. "Ampun, Tuanku. Hamba sadar, pertarungan ini hanya akan membawa perpecahan. Kerajaan kita membutuhkan persatuan, bukan permusuhan."
Raja Alam terdiam, lalu tersenyum. "Kau benar, Cindua Mato. Kearifanmu telah menyelamatkan kerajaan ini."
Pangeran Imbang Jayo, terharu dengan sikap Cindua Mato, maju ke depan. "Tuanku Raja," ujarnya. "Izinkan hamba menarik diri dari sayembara ini. Hamba merasa tidak pantas mempersunting Puti Bungsu.
Kerajaan ini membutuhkan pemimpin yang bijaksana seperti Cindua Mato."
Sorak-sorai memenuhi arena. Raja Alam memandang Bundo Kandung, yang mengangguk penuh arti.
"Baiklah," ujar Raja Alam.
"Atas kebijaksanaan yang telah ditunjukkan, aku memutuskan untuk menikahkan Cindua Mato dengan adikku, Puti Bungsu. Kelak, merekalah yang akan memimpin Kerajaan Pagaruyung."
Puti Bungsu, dengan mata berkaca-kaca, menghampiri Cindua Mato. "Kau telah menunjukkan kekuatan sejati, kekasihku," bisiknya.
Hari itu menjadi awal baru bagi Kerajaan Pagaruyung. Cindua Mato dan Puti Bungsu menikah dalam pesta yang meriah. Kerajaan-kerajaan tetangga yang tadinya berniat menyerang, kini bersatu dalam persahabatan.
Bertahun-tahun kemudian, Cindua Mato menjadi raja yang adil dan bijaksana. Ia memimpin Pagaruyung dengan kebijaksanaan yang ia pelajari dari pengalamannya. Kerajaan menjadi makmur, rakyat hidup dalam kedamaian.
Kisah Cindua Mato menjadi legenda yang diceritakan turun-temurun.
Bukan hanya kisah tentang kekuatan fisik, tapi juga tentang kearifan dan pengorbanan demi kebaikan bersama.
Dan di singgasana emas Istana Pagaruyung, Raja Cindua Mato dan Ratu Puti Bungsu memandang ke cakrawala, tersenyum penuh syukur atas berkah yang telah diberikan kepada mereka dan kerajaan tercinta.
Kerajaan Pagaruyung di bawah kepemimpinan Raja Cindua Mato dan Ratu Puti Bungsu semakin makmur dan disegani. Namun, kedamaian itu ternyata tidak bertahan selamanya.
Suatu hari, datang utusan dari Kerajaan Sungai Ngiang yang membawa kabar mengejutkan.
"Ampun, Tuanku," ujar sang utusan sambil berlutut. "Hamba membawa pesan dari Raja kami. Beliau menuntut Kerajaan Pagaruyung untuk menyerahkan setengah wilayahnya, atau perang akan pecah."
Berita itu menggemparkan seluruh istana. Para menteri dan hulubalang segera berkumpul untuk berunding.
"Kita harus melawan!" seru salah seorang panglima. "Kita punya pasukan yang kuat!"
"Tapi perang akan membawa banyak korban," bantah yang lain. "Mungkin lebih baik kita bernegosiasi."
Raja Cindua Mato mendengarkan dengan seksama. Ia teringat kembali pada pelajaran yang ia dapatkan bertahun-tahun lalu. "Saudara-saudaraku," ujarnya tenang. "Kita tidak akan berperang, tapi kita juga tidak akan menyerah begitu saja. Aku punya rencana."
Keesokan harinya, Raja Cindua Mato sendiri yang berangkat ke Kerajaan Sungai Ngiang, hanya ditemani oleh beberapa pengawal terpercaya. Sesampainya di sana, ia langsung menghadap Raja Sungai Ngiang.
"Wahai Raja yang agung," sapa Cindua Mato. "Hamba datang bukan untuk berperang, melainkan untuk berdamai. Mari kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin."
Raja Sungai Ngiang, yang terkenal keras kepala, awalnya menolak. Namun, kearifan dan tutur kata Cindua Mato perlahan-lahan meluluhkan hatinya. Mereka berbincang sepanjang malam, membahas berbagai masalah yang dihadapi kedua kerajaan.
Ternyata, tuntutan Raja Sungai Ngiang didasari oleh kekeringan yang melanda negerinya. Cindua Mato menawarkan solusi: Pagaruyung akan membantu membangun sistem irigasi yang akan mengalirkan air ke Sungai Ngiang, dengan syarat kedua kerajaan menjalin persekutuan.
Perjanjian pun dibuat. Bukan hanya krisis dihindari, tapi kedua kerajaan kini menjadi sekutu yang kuat. Berita ini disambut dengan sukacita di Pagaruyung.
Namun, di balik kegembiraan itu, ada satu hal yang mengganggu pikiran Cindua Mato. Ia dan Puti Bungsu belum dikaruniai keturunan, padahal mereka sudah menikah cukup lama. Hal ini mulai memicu kekhawatiran di kalangan istana.
Suatu malam, Puti Bungsu mendapati suaminya termenung di taman istana. "Apa yang mengganggu pikiranmu, suamiku?" tanyanya lembut.
Cindua Mato menghela nafas. "Aku memikirkan masa depan kerajaan ini. Siapa yang akan meneruskan tahta jika kita tidak punya keturunan?"
Puti Bungsu menggenggam tangan suaminya. "Jangan khawatir.
Aku yakin Tuhan akan memberi kita jalan."
Tak lama setelah itu, seorang pertapa tua datang ke istana. Ia membawa sebuah ramalan: "Keturunan kalian akan lahir, tapi bukan dari rahim Puti Bungsu. Carilah bunga Serodja Biru di puncak Gunung Merapi. Siapapun yang meminum air rendamannya, akan mengandung anak kalian."
Mendengar ramalan itu, Cindua Mato memutuskan untuk mencari bunga tersebut. Ia meninggalkan istana, menyamar sebagai rakyat biasa. Perjalanannya penuh rintangan. Ia harus melewati hutan lebat, jurang curam, dan menghadapi berbagai makhluk gaib.
Selama perjalanan, Cindua Mato bertemu dengan banyak orang dan mendengar keluh kesah mereka. Ia membantu siapa saja yang membutuhkan, dari petani miskin hingga pedagang yang dirampok. Tanpa sadar, ia telah menyebarkan kebaikan di sepanjang perjalanannya.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang, Cindua Mato berhasil mencapai puncak Gunung Merapi. Di sana, di tengah kabut tebal, ia melihat sekuntum bunga biru yang indah. Dengan hati-hati, ia memetik bunga itu dan membawanya pulang.
Setibanya di istana, Cindua Mato dan Puti Bungsu bingung. Siapa yang harus meminum air rendaman bunga itu? Mereka tidak ingin memaksa siapapun.
Tiba-tiba, seorang gadis muda dari dapur istana, Siti, mendekati mereka. "Ampun, Tuanku," ujarnya. "Hamba bermimpi didatangi seorang wanita cantik yang menyuruh hamba meminum air bunga itu. Jika Tuanku mengizinkan, hamba bersedia melakukannya."
Dengan restu Raja dan Ratu, Siti meminum air bunga Serodja Biru. Beberapa bulan kemudian, ia mengandung.
Selama kehamilannya, Siti dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Puti Bungsu sendiri.
Ketika waktunya tiba, Siti melahirkan sepasang anak kembar, laki-laki dan perempuan. Anak-anak itu diberi nama Sutan Mahmud dan Puti Lenggo Geni. Mereka dibesarkan dengan penuh cinta oleh Cindua Mato dan Puti Bungsu, sementara Siti tetap menjadi bagian penting dari keluarga istana.
Sutan Mahmud dan Puti Lenggo Geni tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas dan berbudi luhur. Mereka mewarisi kebijaksanaan Cindua Mato dan kelembutan Puti Bungsu. Kerajaan Pagaruyung pun memiliki pewaris tahta yang akan meneruskan kejayaannya.
Kisah Cindua Mato dan keluarganya menjadi legenda di Minangkabau. Bukan hanya karena kekuatan dan keberanian, tapi juga karena kebijaksanaan, cinta, dan pengorbanan mereka demi kerajaan dan rakyatnya. Hingga kini, nilai-nilai itu tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat Minangkabau, menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0813 6366 3104
atau email ke alamat : pantauriau@gmail.com
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan PANTAURIAU.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan
Tulis Komentar