Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT PHR di Mata Jurnalis

Kisah Inspiratif Suci di Tengah Fenomena Pola Pikir Serba Instan Melanda Anak Negeri

F ist Analist Social Performance PT PHR Priawansyah didampingi pemilik PT Rumah Jahit Lestari RJL Suci Sustari sedang menjawab pertanyaan wartawan, Kamis (22/8)

PAGI menjelang siang, Kamis (22/8), cuaca cerah. Tidak seperti biasanya kawasan Riau bagian pesisir  meliputi Kabupaten Bengkalis, Rokan Hilir (Rohil), Kepulauan Meranti,  Siak dan Kota Dumai   nyaris diwarnai hujan sepanjang hari. 

Kalau pun butiran-butiran bening-sebening embun   tidak jatuh membasahi bumi. Paling tidak kaki langit kerap menghitam yang membuat sebagian  warga lebih memilih diam di rumah.

Syahdan bulan Juli dan Agustus masuk musim kemarau begitulah yang ada di benak sebagian besar  masyarakat, bukan musim penghujan. Ya,    tampaknya iklim tak lagi seperti dulu. Ada apa?

Yang terang perjalanan pagi itu untuk mengunjungi Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), yaitu PT Rumah Jahit Lestari (RJL) dan Bank Sampah Pematang Pudu Bersih (BSPPB) memberikan kesan sendiri. Paling tidak banyak pelajaran yang bakal bisa dipetik dari orang-orang hebat dan tangguh  binaan perusahaan yang didirikan 20 Desember 2018.

Sebelum bertemu mereka, pelajaran yang takkalah menarik dan sangat mengedukasi ketika mobil yang ditumpang www.pantauriau.com memasuki kawasan perkantoran dan perumahan PT PHR, di Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Untuk menuju Serindit Office maka harus melewati deretan rumah tanpa pagar dengan rerumputan yang menghijau serta rindangnya pepohonan memberikan kesejukan dan  ketenangan tersendiri. Tak ayal seperti kota-kota kecil di Eropa atau Amerika  layaknya  tontonan di layar lebar.

Tak hanya sampai disitu,    rambu-rambu lalu lintas  terdapat di kiri-kanan jalan sangat informatif bagi pengguna jalan.

Meski tidak ada petugas  di persimpangan jalan memelototi pengguna jalan. Namun pengendara  kendaraan roda empat maupun roda  dua tetap disiplin menggunakan safety belt  atau sabuk pengaman, helm termasuk  mematuhi  batas kecepatan kendaraan serta rambu-rambu lalu lintas. Pemandangan yang rasa-rasanya teramat sulit didapat di luaran sana.

“Luar biasa disiplinnya pengguna kendaraan di sini (camp PT PHR di Duri, red),” ujar Hendri D yang sehari-hari berprofesi wartawan itu spontan dibalik kemudi.

Ucapan Hendri D itu dikomentari satu dari empat orang wartawan dari Dumai (satu rombongan, red) yang mengikuti liputan dua program TJSL PT PHR. Ya, Ridwan Safri,  wartawan terbilang senior di Kota Dumai.

Menurut Ocu (digunakan sebagai panggilan kehormatan dan kebanggaan bagi orang asal Kabupaten Kampar, Provinsi Riau atau anak bungsu, red) -begitulah Ridwan Safri akrab disapa- menjelaskan bahwa  cara mengendarai kendaraan  menunjukkan kepribadian dan karakter seseorang.

Lebih jauh dia menjelaskan, misalnya, orang yang sangat hati-hati, patuh rambu lalu lintas, dan mengerem saat lampu kuning cenderung memiliki kepribadian yang lurus, disiplin dan taat aturan.

Masih kata dia, jika seorang pengguna jalan kerap melanggar aturan, bisa jadi sifat dan perilakunya sehari-hari seperti itu. 

”Sebab nilai-nilai dari ketertiban berlalu lintas menunjukkan kepribadian seseorang. Karena saat mengemudi hanya dia yang bisa mengendalikan  dirinya,” kata Ocu yang duduk tepat di belakang supir.

 

Zuhariyadi (26) salah seorang pekerja PT RJL penyandang disabilitas mengangkat potongan kain sebelum dijahit. Keterbatasan  tidak menghalangi  lelaki itu untuk tetap berkarya.

 

Oleh karena itu, sambung Ocu, adalah  wajar jika PT PHR meraih sejumlah capaian positif dan penghargaan diberbagai bidang pasca alih kelola 9 Agustus 2021. Terkini mereka mampu menyalip posisi Blok Cepu sebagai penghasil minyak mentah terbesar di tanah air.

“Ya, dalam hal apapun  kunci kesuksesan adalah disiplin, dan  itu tercermin dari cara mengemudi kendaraan,” tegasnya berargumen.

Sesampainya di Serindit Office (salah satu  nama dari sekian kantor yang ada di areal perkantoran dan perumahan Camp PT PHR di Duri, red) belum sempat  memarkir kendaraan tiba-tiba datang seseorang pekerja dengan sopan memberitahu bahwa kendaraan  harus kembali memutar.

“Maaf, putar lagi Pak?” kata pekerja  bertubuh gempal itu ramah sambil menunjuk tanda perboden.

Mendengar hal itu, di balik kemudi   Hendri D hanya bisa mengatakan “Terimakasih, maaf tidak melihat Pak?” 

Yang ada di mobil hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala pertanda kagum atas disiplinnya komunitas di areal PT PHR.

Mental Baja dan Kaya Ide

Waktu menunjukan sekitar pukul 09.15 WIB satu unit bis ukuran tiga perempat memasuki Serindit Office. Tak lama berselang beberapa wartawan asal Kota Pekanbaru turun  dari kendaraan yang sehari-hari berfungsi sebagai angkutan antar jemput karyawan.

Sebelumnya, wartawan dari Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Kabupaten Siak, Kecamatan Mandau (Kota Duri, red)  dan Kota Dumai lebih terdahulu  sampai ditempat yang ditentukan sebagai pusat keberangkatan rombongan yakni Serindit Office.

Dua puluh tiga orang wartawan dibagi menjadi dua rombongan dengan menumpang kendaraan bis tiga perempat dan satu unit mini bis keluaran terbaru.

Kegiatan  peliputan didua program  Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PT PHR   dalam rangka  lomba karya jurnalistik Pertamina Hulu Rokan News Award (PENA) 2024,  ajang lomba bagi insan pers se-Riau yang menjadi agenda tahunan sejak 2023 lalu. Kegiatan ini juga termasuk rangkaian Anugerah Jurnalistik Pertamina (AJP) 2024.

Selain PT Rumah Jahit Lestari (RJL) dan Bank Sampah Pematang Pudu Bersih (BSPPB) panitia PENA juga mefasilitasi para jurnalis untuk meliput sejumlah TJSL yang dikelola perusahaan plat merah itu, sebut saja pemberdayaan  hutan mangrove di Kota Dumai, konservasi gajah di Duri serta  Minas plus seputar teknologi pengeboran di Rumbai dan lokasi lainnya.

Akhirnya rombongan wartawan tiba disebuah Rumah Toko (Ruko) yang berlokasi di Jalan Hangtuah No 4,  Desa Tambusai Batang Dui, Kota Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Tidak jauh dari Simpang Garoga yang menjadi pemisah dua jalan utama di Kota Duri, yakni Sudirman dan Hangtuah. 

Dibagian atas Ruko yang didominasi warna abu tua terpampang baliho ukuran panjang sekitar 2 meter dan lebar sekira 90 sentimeter. Disana terdapat tulisan bewarna putih “Kelompok Usaha Bersama Rumah Jahit Lestari”  dengan  warna dasar merah. Ya, sepintas baliho itu bisa dimaknai representasi warna ‘kebesaran’ PT Pertamina (Persero).

Hanya berjarak sekitar 600 meter dari Ruko pertama  tepatnya Jalan Hangtuah No 10, Kelompok Usaha Bersama (KUB) Rumah Jahit Lestari (RJL)  juga menyewa Ruko untuk usaha yang sama. Hanya saja di Ruko kedua dipusatkan  untuk menjahit. 

Untuk lantai pertama, misalnya, digunakan penjahit pria. Sedangkan di atasnya penjahit perempuan. Selain tempat bekerja Ruko itu juga dimanfaatkan oleh beberapa  pekerja sebagai tempat tinggal.     

Sejumlah perempuan di Ruko Jalan Hangtuah No 4 sibuk melakukan berbagai aktivitas seperti mengukur,  menggunting dan menyusun kain termasuk memasang kancing. 

Sementara di bagian depan Ruko dipajang berbagai macam model dan jenis baju lapangan yang biasa digunakan para pekerja Minyak dan Gas (Migas) . 

Sedangkan di dinding Ruko yang menghadap ke jalan terdapat 104 nama perusahaan. Ya, rupa-rupanya itulah nama perseroan terbatas yang menjadi pelanggan atau konsumen baju lapangan Migas RJL.

Tak lama berselang  Analist Social Performance PT PHR  Priawansyah memberi kata sambutan memperkenalkan diri menyusul  kunjungan puluhan wartawan ke  RJL salah satu binaan program TJSL perusahaan plat merah itu.

Sementara Suci Sustari SPd yang hari itu mengenakan kain batik bercorak lurik berbalut hijab berwarna krim berada di sisi kiri Priawansyah. Perempuan itu tidak lain pemilik  usaha RJL.

Lebih lanjut Priawansyah pun menceritakan awal perkenallan dengan Suci –panggian akrab Suci Sustari, red-. Pria berambut ikal dengan wajah seperti orang-orang Asia Selatan kebanyakan ini menuturkan sekitar tahun 2020 Suci mengajukan proposal ke pengelola Blok Rokan sebelumnya (PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), red) untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang akan dirintisnya .

“Sekitar empat bulan Bu Suci mengejar-ngejar kami menanyakan proposal yang diajukannya. Waktu itu saya tidak percaya,  Saya tidak sungkan dan langsung saja bicara,”  terangnya seraya melirik Suci, perempuan itu hanya tersenyum tipis dan meangguk-anggukan kepala mendengar ucapan  Priawansyah . 

Lantas apa yang membuat seorang Priawansyah tidak percaya? “Ya, karena banyak proposal masuk dan dibantu tapi  hasilnya tidak sesuai dengan harapan,” tegas pria berbadan tegap ini  melanjutkan.

Namun ketidakyakinan   Perwira (adalah singkatan dari Pertamina Wira sebutan untuk pekerja Pertamina, red) keliru. Sebaliknya, Priawansyah respek dan terkagum-kagum dengan torehan prestasi yang diraih Suci. Paling tidak perempuan bermental baja itu hanya membutuhkan waktu sekitar 17 bulan maka usahanya pun maju dan berkembang pesat.

“Ini pembelajaran juga bagi saya untuk tidak bernegatif thinking. Belajar dari bantuan yang sama seperti bisnis menjahit ini, banyak juga dibantu tapi tidak sesuai harapan, mungkin mereka hanya ikut-ikutan atau  tekatnya kurang,” terang Priawansyah menduga-duga.

Ada yang menarik menyoali keraguan yang sempat menghampiri Priawansyah itu. Adalah jurnalis asal Kabupaten Bengkalis Sri Mawarti Syarif berpendapat sebaiknya sebelum menyalurkan bantuan dalam rangka program TJSL, PT PHR melakukan publikasi terhadap penerima manfaat .

“Paling tidak dengan di publikasikan yang menerima bantuan mempunyai rasa tanggung jawab, serius  dan bekerja keras agar bantuan itu berhasil dan berkembang serta malu kalau gagal,” usulnya.

Publikasi yang intensif, masih kata dia, perlu dilakukan terlebih terhadap penerima manfaat TJSL yang dinilai  berhasil untuk memotivasi penerima bantuan lainnya.

“Pada dasarnya manusia ingin eksistensinya diakui salah satunya melalui publikasi positif. Dengan mempublikasikan penerima manfaat yang dinilai sukses   maka yang lainnya terpacu melakukan yang terbaik. Kompetisi yang sehat perlu untuk kebaikan dan kemajuan. Sehingga semua penerima manfaat berlomba-lomba menjadi yang terbaik,” katanya.

Selain publikasi, lanjut wartawati asal negeri junjungan itu, maka PT PHR menggelar acara tahunan untuk mitra binaan mereka berupa penganugerahan atas capaian mereka. “Ya, ini salah satu motivasi bagi mereka, teknis bisa saja kategori berdasarkan periode waktu menerima bantuan, jenis usaha, jumlah bantuan dan sebagainya. Bisa saja acaranya digelar akhir tahun,” sarannya. 

Kendati begitu,  Sri Mawarti Syarif sangat respek terkait program TJSL yang dikelola PT PHR. “O, iya? Kita sangat mendukung TJSL yang mengarah kepada pemberdayaan ekonomi kerakyatan seperti dilakukan PT PHR. Karena di sektor informal seperti  Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ini mampu menyerap tenaga kerja dengan  jenjang latar belakang  pendidikan  yang beragam. Belum lagi multiplier effect atau efek berganda lainnya, ” tambah perempuan berhijab ini.

Sementara itu jurnalis media nasional asal Kota Pekanbaru Indra Yose berpendapat sebelum mengajukan proposal maka elemen masyarakat  sejatinya berpikir ulang.

“Apakah sekedar ikut-ikutan atau iri karena yang lainnya dapat sementara mereka tidak, kalau itu alasannya sebaiknya tidak usah mengajukan proposal,” tegasnya.

Lantas apa alasan Indra Yose menyarankan agar  elemen masyarakat yang tidak memiliki kemauan kuat untuk maju hanya sekedar ikut-ikutan tidak mengajukan proposal?

 “Ya, dengan status Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada dasarnya keuntungan termasuk dana yang ada di perusahaan itu milik kita semua.  Sayang  sekali ketika yang lain sangat membutuhkan dan serius belum beruntung karena belum  memperoleh bantuan. Disisi lain yang sudah menerima manfaat tidak serius,” pungkasnya.

Yang membuat Priawansyah bertambah kagum  ternyata saat mengajukan proposal Suci belum bisa menjahit. Menariknya pasca proposal cair barulah perempuan itu belajar menjahit itupun melalui sejumlah channel di youtube.

Pertemuan www.pantauriau.com dengan Suci, Kamis (22/8) merupakan perjumpaan kali kedua. Sebelumnya, wawancara pertama dilakukan, Sabtu (15/6) di tempat yang sama. 

Ya, Suci belajar menjahit melalaui youtube juga dikemukakan wartawan asal Dumai, Hendri D saat melakukan wawancara  dengan perempuan tangguh itu beberapa waktu lalu.

“Ya, saya kaget juga waktu Kak Suci –panggilan Hendri D kepada Suci Sustari, red - menjelaskan bahwa dia belajar menjahit dari tutorial youtube. Karena saya pikir saat mengajukan proposal sudah bisa menjahit,” katanya.

Lalu mengapa Suci tidak mengikuti kursus menjahit, misalnya? “Kalau mengikuti kursus diperlukan biaya sekitar Rp1 juta, tentu ini menguras uang tabungan kami. Tidak hanya itu, dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan agar  bisa menjahit. Sementara mesin jahit yang dihibahkan sudah saya terima. Ya, belajar di youtube cuma bermodalkan membeli paket data,” seloroh Hendri menirukan ucapan Suci.

Untuk yang satu ini, Suci tidak bakalan melupakan  pelajaran pertama menjahit yang didapatinya melalui tutorial youtube. “Saya akan ingat selalu pelajaran pertama di youtube bagaimana cara memasukan benang ke dalam jarum mesin jahit . Ya, kalau diingat-ingat jadi tertawa sendiri,” seloroh Suci tertawa lepas  melemparkannya  ke masa lalu  yang sekarang menjadi kenangan indah  sekaligus teramat manis  untuk dilupakan .

Kendati baru kenal melalui wawancara  Hendri D berpendapat Suci adalah perempuan tangguh dan bermental baja termasuk nekat. Paling tidak itu bisa dilihat dari torehan  prestasi usaha yang dijalani meski dirinya tidak memiliki keterampilan menjahit. 

 

 

F ist Meski telah memasuki usia senja,  Zulkifli (67) (duduk paling ujung) tetap bekerja dengan penuh semangat.

 

“Kita harus akui hanya orang bermental baja, pantang menyerah dan terbilang nekat yang bisa melakukan itu. Karena dia betul-betul tidak memiliki dasar menjahit. Kalau tidak memiliki mental dan tekat kuat bisa-bisa mesin jahit itu pengelolahannya dialihkan ke orang lain dan sebagainya. Tapi pelajaran yang tak kalah penting bagaimana proses Suci  bisa menjadi sukses,” kata Hendri.

Setelah mengajukan proposal pada tahun 2020 dikala Blok Rokan masih dikelola operator lama maka sekitar bulan Mei 2021 proposal Suci pun dieksekusi. 

Kepada www.pantauriau.com Suci menuturkan, Kamis (27/5/21)  ada mobil parkir di depan rumah kontrakan kecilnya di sekitar daerah Simpang Geroga. Dari kendaraan roda empat sejumlah pekerja menurunkan  lima unit mesin jahit portabel dan dua bal kain.

Awalnya Suci mengaku senang karena proposalnya dieksekusi. Akan tetapi perempuan berwajah bulat itu sesaat terdiam melihat 5 unit mesin jahit yang mulai dirakit Yan Sofyan yang tak lain suaminya.

“Saya teduduk (istilah dalam dialek bahasa Melayu pesisir untuk kondisi tercengang, kaget dan sebagainya, red). Iko tak iyo do bang ? (ini tidak benar  bang (suami), red),” kata Suci masih dalam dialek Melayu Riau bagian  pesisir meliputi Kabupaten Rokan Hilir,  Bengkalis, Siak, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai. 

Lantas apa yang terjadi sebenarnya? Ya. persoalannya dalam proposal yang diajukan perempuan itu   ke perusahaan operator lama pengelolah Blok Rokan dia ingin mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) seperti kejar Paket A untuk meraih ijazah SD, Paket B bagi SLTP dan C meraih sertifikat menyelesaikan sekolah setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) termasuk les bahasa Inggris, pemberdayaan ekonomi kreatif plus membuat sanggar seni. 

“Waktu saya masih di  Palembang punya lembaga seperti itu. Karena latar belakang saya adalah guru bahasa Inggris. Memang, dalam proposal ada untuk pelatihan menjahit. Hanya saja tidak terbayangkan lima  unit yang dihibahkan. Apalagi saat itu saya belum bisa menjahit. Ya terpikirkan juga mau diapakan mesin jahit ini?,” terang Suci tertawa kecil mengingat hal itu menjawab pertanyaan www.pantauriau.com.

Sebelum tinggal di Kota Duri,  perempuan itu tumbuh dan besar di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Ya, sekitar tahun 2019 Suci dan keluarga  menginjakkan kaki di kota yang dijuluki petrodollar. Ini berawal saat suaminya Yan Sofyan memutuskan untuk resign atau berhenti dari tempat dia bekerja disebuah perusahaan yang bergerak dibidang Minyak Gas (Migas) di salah satu daerah di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).

Perempuan kelahiran  Palembang 17-7-1979 ini  setuju dengan keputusan lelaki teman hidupnya itu.

“Saya pun berdiskusi dengan suami langkah apa selanjutnya pasca resign atau berhenti dari perusahaan yang selama ini menjadi tempat gantungan hidup. Akhirnya kami sepakat memutuskan untuk pindah ke Kota Duri. Alasannya karena di sini banyak  perusahan Migas, Ya tidak sulitlah untuk mencari pekerjaan. Apalagi abang (suami, red) punya pengalaman kerja di bidang Migas,” kilahnya.

Apa yang dikemukakan ibu dari 6 anak ini  sangat tepat. Kendati kedua orang tua sang suami berdarah Melayu Bagansiapiapi tepatnya dari Kabupaten Rokanhilir (Rohil), tapi Yan Sofyan lahir dan besar di kota petro dollar  sebelum merantau ke Sumsel.

Berbekal latar belakang pernah bekerja di perusahaan yang bergerak di sektor Migas plus era otonomi daerah (Otda) notabene pemberdayaan masyarakat lokal atau tempatan disegala bidang menjadi isu sentral yang pada gilirannya menjadi perhatian pemangku kebijakan terlebih  perusahaan yang beroperasi di daerah.

“Ya, di era otonomi daerah tentu putra tempatan menjadi prioritas atau diutamakan, kami menangkap ini merupakan peluang karena abang, kan, putra daerah,” terangnya. 

Dengan uang tabungan yang ada, lanjut Suci, keluarga itu pun meninggalkan Kota Palembang yang pernah memberikan segala kenangan indah termasuk suka-duka layaknya sebuah simfoni kehidupan yang dilewati cucu bani Adam.

“Sesampainya di Kota Duri kami harus menata kehidupan baru, ya  dari nol. Dan saya berhenti mengajar Mata Pelajaran (Mapel) bahasa Inggris yang saya ajarkan   bertahun-tahun,” terangnya kepada awak media termasuk www.pantauriau.com

Berprofesi guru memudahkan Suci  berkomunikasi dengan siapapun. Bukankankah kata orang bijak satu cara menarik rezeki yakni memperbanyak silaturrahmi termasuk relasi. Ini pula yang dilakukan Suci dan suami.

Jika Yan Sofyan aktif atau bergabung di Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) tingkat provinsi dan sejumlah organisasi masyarakat (Ormas) lainnya maka sang istri bergabung di Balai Kreativitas Anak Melayu (BKAM) melalui lembaga ini sekitar tahun 2020 Suci mengajukan proposal ke operator lama pengelola Wilayah Kerja (WK) Blok Rokan. 

Lantas bagaimana dengan nasib lima  mesin jahit yang dihibahkan  operator lama Blok Rokan itu? Suci dan sang suami sempat berdiskusi panjang sebelum mengambil keputusan.

“Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Tapi kami sepakat  meski belum  memiliki keahlian menjahit bahwa lima mesin  jahit itu kami kelola, pengelolahannya  tidak diserahkan kepada orang lain, karena ini menyangkut pertanggungjawaban, nama baik dan sebagainya,” terangnya.

Suci pun mafhum resiko apa yang bakal diterimanya jika  mengembalikan lima unit mesin jahit ke operator lama pengelola Blok Rokan. “Ke depan tentu kita akan sulit berhubungan dengan perusahaan. Ya, karena ini  menyangkut reputasi, tanggung jawab, komitmen dan sebagainya. Akhirnya saya jalankan  lima unit mesin jahit itu semampu dan sebisa saya. Yang penting saya berusaha bagaimana  mesin jahit itu bertahan, syukur-syukur  berkembang,” terangnya.

Kendati  diluar ekspetasi karena sebelum  proposal itu dikabulkan  dia berharap keinginannya untuk  mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dieksekusi. Tapi Suci tetap bersyukur karena mesin jahit yang dihibahkan jenis portabel. “Kalau mesin jahit konvesional atau  lama bisa dipastikan model jahitnya lurus saja. Tapi karena portabel maka bisa menghasilkan beraneka ragam manfaat tidak sekedar menjahit,” ungkapnya menerangkan perbedaan mesin jahit konvesional dan portabel.

Seperti suami istri lainnya, Suci dan Yan Sofyan pun berbagi tugas. Jika perempuan berkaca mata itu terus mendalami ilmu menjahitnya melalui tutorial youtube maka sang suami mengambil peran sebagai marketing yakni menawarkan jasa jahit seragam kantor ke sejumlah perusahaan yang ada di Kota Duri.

Meski belum menghasilkan, Suci menyewa satu Rumah Toko (Ruko)  di Jalan Asrama Tribrata, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. “Saya sewa Rp1 juta per bulan. Alasannya kalau di rumah kurang leluasa bagi konsumen termasuk yang ingin belajar menjahit. Lokasi Ruko cukup strategis di pinggir jalan,” kata Suci berargumen menyusul keputusannya yang mungkin dinilai sebagian orang terbilang nekat.

Sementara untuk marketing, tentu tidaklah sukar bagi pria kelahiran 20-2-1976 di Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Provinsi Riau itu untuk mendapatkan Purchase Order (PO). Karena ini ditopang luasnya pergaulan dan aktifnya dia  disejumlah organisasi   memudahkannya mendapatkan akses termasuk relasi.

Setelah dinilai pasti, suatu hari Yan Sofyan membawa kabar gembira kepada Suci bahwa dalam waktu dekat ada perusahaan yang datang untuk membuat seragam kerja.

Kabar itu tak urung membuat hati Suci berbunga-bunga. Untuk sesaat perempuan itu melupakan bahwa dirinya  belum bisa menjahit dan masih belajar melalui kanal youtube. 

“Mendengar kabar itu hati saya senang sekali. Ya, lupa bahwa saya belum mahir menjahit,” papar Suci tertawa kecil.

Hari ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan menggunakan kendaraan roda empat sejumlah pekerja sub kontraktor perusahaan operator lama pengelola Blok Rokan mendatangi Ruko sederhananya untuk memesan baju seragam sebanyak 40 pieces (pcs) .

Karena ini merupakan konsumen pertama dan Suci tidak paham seputar seluk beluk jahit-menjahit maka dia lebih memilih bersikap pasif.

“Kalau mengukur baju saya sudah bisa, tapi  belum paham berapa upah jahit dan sebagainya, kami (kata utusan pekerja, red) biasanya mengupahkan  jahitan itu sebesar Rp200 ribu, Kak (Suci, red)? Bagaimana bisa?,” kata Suci menirukan ucapan salah seorang pekerja. “Tanpa pikir panjang lagi saya jawab bisa. Ya, saat itu yang saya pikirkan bagaimana peluang atau kesempatan ini jangan sampai hilang begitu saja,” tambahnya.

Lazimnya bagi pemula yang terjun di dunia bisnis saat itu mereka berprinsip biarlah memperoleh keuntungan sedikit   yang penting dapat konsumen atau pelanggan hal itupun berlaku bagi Suci.

“Apalagi di Kota Duri terdapat sekitar 400 perusahaan yang mayoritas bergerak di bidang Migas ini merupakan pangsa pasar terbilang besar. Disamping lembaga pendidikan, pemerintahan dan sebagainya. Waktu itu saya berpikiran sekecil apapun peluang jangan disia-siakan,” kata Suci kembali membuka kenangan indah menyusul  pesanan baju seragam  kantor konsumen pertamanya. 

Usai pekerja itu meninggalkan Ruko, tanpa membuang waktu lagi Suci langsung menstater motornya mendatangi sejumlah penjahit yang ada di Kota Duri.

“Saya belum bisa menjahit, sementara sudah ada pesanan. Ya, saya datangi para penjahit dan menawarkan pekerjaan bagi mereka yakni menjahit 40  pcs baju seragam kantor,” katanya.

Layaknya  dalam transaksi sebuah bisnis, akhirnya terjadi tawar menawar upah menjahit antara dia dengan sejumlah penjahit yang ditemuinya.

“Akhirnya disepakati upah menjahit Rp125 ribu untuk baju atau setengah dari harga upah menjahit sepasang atau satu stel baju seragam yakni sekitar Rp250 ribu,” katanya.

Kendati Suci sudah mendapatkan penjahit yang akan menjahitkan pesanan konsumen pertamanya itu ternyata permasalahan belum tuntas, kok bisa? “Ya, para penjahit atau pemilik taylor tidak bisa menampung semua pesanan saya. Karena mereka juga menyelesaikan pesanan pelanggan mereka. Akhirnya orderan saya itu dibagi-bagi kesejumlah penjahit, ada yang mengambil tiga sampai dengan empat potong.”

Kendati 40 pcs baju seragam kantor itu telah dibagi-bagikan kepada sejumlah penjahit atau taylor yang ada di Kota Duri, namun masih ada yang tersisa. Meski begitu  untuk sesaat Suci bisa menarik napas lega. 

Dia pun kembali ke rumah, sempat dalam benaknya tergambar keuntungan  yang bakal diperoleh, karena masih tersisa sekitar Rp75 ribu, hasil   dari biaya yang disepakati dari perusahaan yang memesan jahitan kepadanya sebesar Rp200 ribu lalu dipotong Rp125 ribu upah menjahitkan seragam itu ke penjahit lain .

Akan tetapi  untuk sesaat Suci tersentak. Apa pasal?  “Ya, saya lupa menghitung harga kain, karena Rp125 ribu itu, kan, harga upah menjahit di taylor. Karena awam dengan dunia menjahit akhirnya saya membeli kain di Duri,” terangnya.

Sebagai pemula akhirnya Suci pun bertanya kesejumlah orang berapa kain dibutuhkan untuk membuat seragam kantor. “Disitulah saya  baru tahu bahwa untuk membuat baju tangan pendek dibutuhkan bahan dasar kain sekitar 1,5 meter. Sementara untuk tangan panjang dengan dilengkapi kantong semua maka diperlukan bahan kain sekira 2 meter,” terangnya.

Selain tidak tahu pasti berapa kain dibutuhkan untuk membuat baju seragam kantor, dia juga tidak tahu harga kain. Belakangan dari informasi yang dia dapat dari sejumlah penjahit diketahui perbedaan harga antara kain di Kota Pekanbaru dengan Kota Duri selisihnya sekitar Rp15 hingga Rp20 ribuan. “Besok-besok kakak (Suci, red) kalau mau membeli kain di Kota Pekanbaru saja,” kata Suci menirukan saran salah seorang penjahit.

Beruntung dari 40 potong pesanan itu masih tersisa karena belum mendapat penjahit yang mengerjakannya. Entah ide dari mana Suci kembali menyelusuri Kota Duri. Kali ini mencari penjahit perempuan. 

"Waktu itu saya hanya berpikir, kan, banyak penjahit perempuan mana tahu  sepi orderan makanya saya ke pelosok-pelosok mencari mereka ,” terangnya.

Ternyata prediksi  Suci  tidak meleset  karena sejumlah  penjahit perempuan yang ditemuinya sepi orderan. Akhirnya Suci pun  menawarkan pekerjaan untuk menyelesaikan seragam kantor yang tersisa itu.

“Mereka senang saya tawarkan pekerjaan menjahit  seragam kantor, tapi saya minta kepada mereka agar  upahnya jangan mahal-mahal karena ini pesanan pertama. Akhirnya disepakati upah jahitnya Rp70 ribu,” terangnya.

Dari sisa orderan baju seragam dan penelusuran Suci ke sudut-sudut Kota Duri akhirnya dia mendapatkan tiga penjahit  perempuan. 

Mereka pun berbagi tugas, yakni Suci bertugas memasang kancing, menggosok pakaian seragam yang telah selasai termasuk mengemasnya menggunakan plastik sederhana.

Memang,  biaya upah jahit sudah bisa ditekan dari Rp125 ribu menjadi Rp70 ribu, namun Suci mengalami kerugian. Karena harga kain di Duri yang lebih mahal dari Pekanbaru dan sebagian besar pekerjaan telah diberikan kepada penjahit laki-laki atau taylor (dengan upah jahit Rp125 ribu, red). 

“Setelah dihitung-hitung bukannya untung melainkan rugi sekitar Rp3 juta, tapi sudahlah yang penting pelanggan pertama saya tidak komplain baik dari segi kualitas jahitan maupun ketepatan waktu,” terang Suci menghibur diri.

Kendati mengalami kerugian dan lagi-lagi dia harus mengambil uang tabungan yang ada. Namun bagi perempuan bermental baja itu kerugian ini menjadi pelajaran teramat berharga. 

Masih kata Suci, hikmah yang dipetiknya  dari kerugian ini dia  sudah tahu perbedaan harga upah penjahit antara taylor dan konveksi termasuk harga kain dan lain-lainnya. “Sungguh pelajaran sangat berharga,” aku Suci.

Lantas apakah Suci jera mengalami kerugian itu? Ternyata tidak. Bahkan melecutnya untuk lebih semangat dan optimis karena satu masalah telah dilewatinya. Kendati mengalami kerugian Rp3 juta Suci tidak butuh  waktu lama untuk move on. Pantang baginya surut ke belakang apalagi  ‘melempar handuk’ karena dia berprinsip dalam hal apapun di dunia ini butuh proses tidak ada yang instan.

“Saya tidak jera, karena kerugian yang saya alami merupakan bagian dari sebuah proses,” kilahnya.

Tidak lama berselang ada perusahaan mendatangi Ruko sederhananya itu Kedatangan mereka untuk memesan wearpack (pakaian seragam untuk di lapangan, red). Salah seorang dari mereka menanyakan kepada Suci apakah dia bisa membuat wearpack? Sebab membuat pakaian tersebut memerlukan keterampilan tersendiri. Bahkan  saat itu diketahui pakaian jenis ini didatangkan dari luar Kota Duri.

“Ditanya begitu ya saya jawab saja bisa. Apalagi pesanannya banyak sebesar 80 pcs, sayang kalau ditolak,” pungkasnya.

Usai perwakilan perusahaan itu pergi menyerahkan ukuran  wearpack disecarik kertas barulah Suci kelabakan bagaimana menyelesaikan pesanan itu tepat waktu.  “Kemampuan menjahit saya dari  tutorial youtube belum bisa diandalkan,” katanya. “Tapi belasan tahun menjadi guru saya sudah terbiasa menghadapi sesuatu belum bisa menjadi bisa,” kilahnya, untuk  menepis kegamangannya  dia  tancapkan dalam hati terdalam keyakinan bahwa dirinya mampu mengatasi permasalahan itu.

Entah ide dari mana  perempuan itu meminta suaminya untuk meminjamkan wearpack dari kawannya mulai dari ukuran M, L, XL dan XXL. “Tolong bang pinjam ke kawan-kawan abang wearpack segala ukuran. Tapi sebelumnya saya ceritakan tentang pesanan itu,” katanya.

Setelah mendapatkan wearpack beragam  ukuran Suci pun membuka habis semua jahitan pakaian. “Dengan kertas karton saya buat mall atau  pola,” terangnya.

 Satu permasalahan tuntas, persoalan lainnya pun muncul yakni siapa yang menjahit  wearpack itu? Belajar dari rugi Rp3 juta saat memenuhi pesanan 40 pcs baju seragam kantor perempuan itu tidak ingin peristiwa pahit tersebut   terulang kembali.

Sekali lagi Suci  menunjukan perempuan bermental baja dengan seribu macam ide dan inovasi. Entah dorongan dari mana dia mendatangi sejumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang ada di Kota Duri terlebih yang memiliki jurusan tata busana.

Selanjutnya Suci bertanya kepada guru-guru  apakah ada alumni sekolah yang belum memiliki pekerjaan? “Tapi sebelumnya menjelaskan kedatangan saya  untuk mengajak para alumni yang belum bekerja mengerjakan pesanan 80 pcs. Pihak sekolah senang mendengar penjelasan itu, mereka langsung memberikan nomor telpon para alumni yang diketahui belum mendapat pekerjaan,” katanya.

Setelah itu Suci pun menghubungi para alumni yang belum mendapatkan pekerjaan  untuk diajak membantunya mengerjakan pesanan wearpack 80  pcs ternyata  banyak diantara mereka bersedia.

Selanjutnya para alumni mendatangi Ruko kontrakan Suci untuk mengerjakan wearpack setelah pola atau mall dikeluarkan Suci mereka pun mulai bekerja.

“Tiga tahun belajar  di sekolah tentang busana tentu tidak terlalu sulit bagi mereka mengerjakannya. Wearpack yang dipinjam dari kawan-kawan abang dikembalikan dengan terlebih dahulu dijahit kembali sehinggah seperti kondisi semula,” tukas Suci tersenyum kecil mengingat kenekatannya itu.

Selain pesanan wearpack 80 pcs kelar tepat waktu ternyata Suci memperoleh sejumlah keuntungan memperkerjakan para alumni yang semuanya perempuan muda dan lajang. Diantaranya dia bisa belajar menjahit kepada mereka. “Jika dulu saya guru maka saat itu saya menjadi murid,” seloroh Suci kembali tertawa lepas.

Bagaimana dengan upah para alumni yang telah menyelesaikan pesanan wearpack 80 pcs itu? Untuk yang satu ini Suci memanfaatkan jasa google melakukan survei ke sejumlah          konveksi  diberbagai wilayah  di pulau Sumatera termasuk kota besar  di pulau Jawa berapa upah membuat wearpack, coverall   yang merupakan Alat Pelindung Diri (APD) bagi pekerja lapangan perusahaan Migas.

“Ternyata para alumni itu masuk ke dalam kategori konveksi upahnya dibawah taylor. Setelah tahu nilai upahnya lalu dibayar, tapi saya lebihkan agar mereka betah bekerja dengan saya,” katanya.

Siapa sangka langkah kecil Suci memberdayakan alumni SMK yang belum memiliki pekerjaan  itu kelak akan menjadi salah satu penyumbang  terbesar majunya Kelompok Usaha Bersama (KUB) Rumah Jahit Lestari (RJL).

Selalu Berbagi

Setelah tahu bahwa ada perbedaan harga kain antara Kota Duri dan Pekanbaru maka selanjutnya Suci pun membeli kain itu di ibukota provinsi.

Menariknya, setiap membeli kain ke kota bertuah,  Suci melebihkan stok kain dari kebutuhan sebenarnya. Dan ini tidak diketahui sang suami. “Saya tidak tahu mengapa begitu, yang jelas waktu itu saya berpikiran mana tahu nanti bisa dimanfaatkan,” terangnya.

Ya, waktu terlempar dari busur tidak terasa Idul Fitri Ramadhan 1444 H atau 2022 M tinggal di depan mata,  Perempuan ramah itu mengecek kain yang distoknya setiap membeli di Pekanbaru. Alih-alih kainnya bisa dibuat untuk 80 pieces pakaian. 

“Waktu itu saya ceritakan sama abang (suami, red)   tentang kebiasaannya melebihkan membeli kain dari kebutuhan yang diperlukan, dan selanjutnya diutarakan rencana saya kalau kain itu dibuat baju lebaran untuk anak panti asuhan,” kata Suci.

Mendengar penuturan Suci itu, sang suami bertanya balik. “Memang bisa (menjahit, red) ?” kata Suci menirukan ucapan suaminya. “Ya, saya jawab bisalah?” sahut Suci  menjawab tantangan itu.

Ternyata stok kain yang ada kurang, karena jumlah anak yatim di Panti Asuhan (PA) Al Jauhar berjumlah 91 anak asuh. Melihat hal itu Suci berinisiatif menambahkannya. 

Akhirnya 40 perempuan dan 51 laki-laki anak yatim  memiliki baju baru. Tatkala  hari nan fitri itu tiba dan gema takbir bersahut-sahutan mendayu-dayu  senyum pun mengembang menghiasi bibir anak-anak kurang beruntung ketika mengenakan baju  pemberian   Suci.

Selain siap berbagi materi, Suci pun tidak ‘pelit’ berbagi ilmu seputar jahit-menjahit, manajemen dan turunannya –mungkin- sesuatu yang sulit diperoleh dari orang kebanyakan, karena ini menyangkut “dapur perusahaan atau periuk nasi“. Tapi hal itu tidak berlaku bagi perempuan tersebut.

Dilain waktu mitra binaan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) WK Rokan, Rumah Jahit Lestari (RJL) berbagi inspirasi dengan kelompok mitra binaan PT PHR lainnya. RJL mengajarkan kelompok masyarakat yang bergabung dalam program rumah kreatif binaan PT PHR Zona 1 Rantau Field untuk menjahit dan memproduksi pakaian coverall (baju kerja lapangan, red). Kegiatan pembelajaran tersebut dipusatkan di Rumah Jahit Lestari (RJL) selama dua  pekan. 

Kelompok masyarakat tersebut berasal binaan CSR PT Pertamina Hulu Rokan Zona 1 di Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darusallam (NAD)  diketahui terdapat tiga orang memiliki  potensi untuk diberikan pembinaan. Dari tiga orang, satu merupakan penyandang disabilitas. 

Masih kata Suci, selain mengajarkan materi, RJL juga berbagi inspirasi dan pengalaman agar dapat diterapkan untuk kemandirian ekonomi, seperti yang sudah dialaminya   selama menjadi binaan PT PHR WK Rokan.

F ist Kehadiran PT RJL binaan PT PHR membawa berkah tersendiri bagi sejumlah siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk magang meningkatkan keahlian. 

 

Saat disodorkan pertanyaan menggoda  apakah Suci tidak khawatir  orang-orang yang  belajar dengannya kelak menjadi kompetitornya? “Soal menjahit dan sebagainya saya siap berbagi, rejeki sudah ada yang mengatur dan tidak mungkin tertukar,” katanya mantap.

Menurut hemat www,pantauriau.com sikap siap berbagi Suci patut diacungkan jempol. Ya, dilain waktu potongan-potongan kain yang tidak terpakai atau disebut kain perca  dimanfaatkannya untuk membuat berbagai macam barang seperti dompet, sapu tangan, tanjak (topi khas Melayu, red), bantal leher dan sebagainya.

Untuk yang satu ini, www.pantauriau.com melihat sendiri begitu apik dan bagusnya kain perca yang sudah diolah itu dan memiliki nilai ekonomis. 

Lantas apakah barang-barang bernilai ekonomis itu dijualnya? Ternyata tidak. Sebab dalam waktu tertentu Suci dan anggota RJL melakukan gotong royong  membersihkan lingkungan sekitar Ruko atau wilayah lainnya di Kota Duri. 

“Dalam seminggu kami turun ke jalan-jalan membersihkan sampah dan sebagainya. Selanjutnya kita berikan souvenir dari kain perca kepada masyarakat sekitar cuma-cuma,” terang Suci, ya ada pancaran  bahagia  dikedua bola mata perempuan itu.

Maju dan Berkembang

Keberuntungan demi keberuntungan terus menaungi Suci. Ya,  sekitar bulan September 2021  (pasca alih kelola Wilayah Kerja (WK)  Blok Rokan dari operator kepada PT PHR). Kru operator WK yang sarat sejarah itu pun terkejut ketika mengunjungi RJL yang kala itu masih mengontrak Ruko di Jalan Asrama Tribharata.

“Ketika bagian TJSL PT PHR datang mereka terkejut  karena di Ruko banyak orang yang belajar menjahit gratis seperti ibu-bu, remaja putri  dan putus sekolah. Bahkan ada juga diantara mereka sedang bekerja menyelesaikan pesanan,” terang Suci .

Ternyata ramainya kegiatan di Ruko yang disewa Suci Rp1 juta per bulan itu berlangsung setiap hari, kondisi ini membuat  bagian TJSL  PT PHR senang. 

“Selanjutnya mereka menanyakan kepada saya  apa yang bisa dibantu agar RJL semakin berkembang dan besar?” kata Suci. “Namun bantuan dieksekusi tahun depan (2022, red) ya kak? Karena di 2021 sudah direalisasi operator lama,” tambah Suci menirukan ucapan pekerja PT PHR.

Ya, asa perempuan tangguh itu untuk memiliki mesin konveksi pun berlabuh, tepatnya, Selasa (24/5/22) PT PHR memberikan sejumlah bantuan  berupa 12 unit mesin jahit baru terdiri dari 7 unit mesin jahit (konveksi) besar, 1 unit mesin obras besar, 1 unit mesin Neci, 1 unit mesin pasang kancing, 1 unit mesin jahit kaos dan 1 unit mesin potong besar.

“Dengan adanya batuan ini kita menambah 14 pekerja untuk menjalankan mesin baru termasuk mengerjakan wearpack di rumah mereka,” kata Suci sembari menambahkan penghasilan antara para pekerja di rumah dan di Ruko tidak berbeda. “Yang di rumah, kan, menanggung listrik. Pagi-pagi mereka membawa kain sudah dipotong ke rumah. Selanjutnya sore hari ke sini (Ruko, red) untuk menyetorkan kain yang sudah menjadi baju. Dengan demikian tidak menghalangi ibu-ibu itu menopang ekonomi keluarga dengan tetap mengerjakan urusan rumah tangga,” terangnya.

Kegigihan dan keuletan Suci tak luput mendapat acungan dua jempol dari   Analist Social Performance PT PHR  Priawansyah, Perwira (adalah singkatan dari Pertamina Wira sebutan untuk pekerja Pertamina, red) mengaku terkejut menyusul kemajuan pesat KUB RJL.

Ya, keterkejutan Priawansyah sangat beralasan mengingat awal Suci menjalankan RJL dia menyewa satu Ruko. Hanya butuh waktu 17 bulan perempuan tangguh itu menambah 2 Ruko lagi untuk disewa, total 3  Ruko dioperasikan untuk menunjang aktivitas RJL (masih berlokasi Jalan Asrama Tribrata sebelum pindah ke Jalan Hangtuah, red)

“Waktu itu RJL  mempekerjakan 41 orang (sekarang 84 orang, red) tenaga kerja lokal yang sebagian besar anak-anak putus sekolah dan IRT. Mungkin perkembangan ini  membuat orang-orang dari PT PHR terkejut,” kata Suci menduga-duga. 

Ya, dalam kata sambutannya saat kedatangan puluhan wartawan ke PT RJL, Kamis (22/8), Analist Social Performance, PT PHR Priawansyah mengaku masih ingat bagaimana Suci tanpa putus asa terus menghubungi bagian TJSL  (masih operator lama, red) agar proposalnya dieksekusi.

“Berbekal lima  unit mesin jahit dan Bu Suci  tidak pandai menjahit tapi bisa sukses seperti sekarang. Yang membuat saya salut Ibu Suci selalu siap berbagi dengan sesama, gigih dan tangguh. Diantaranya merekrut anak-anak putus sekolah terlebih perempuan. Selanjutnya dilatih dan diberdayakan dengan cara bergabung diusaha yang dijalankannya. Ya, KUB RJL ini salah satu binaan UMKM PT PHR yang mengalami perkembangan luar biasa. Bisa dikatakan from zero to hero tentu semua ini berkat kerja keras, kegigihan, dan ketekunan serta melewati proses,” puji Priawansyah.

 

 

F ist Salah seorang pekerja perempuan di PT RJL sedang serius menjahit pesanan konsumen. 

Soal lapangan kerja yang tercipta menyusul maju pesatnya KUB RJL mendapat apresiasi tersendiri dari jurnalis asal Kabupaten Siak Yanti Sugrianti, satu dari 23 wartawan yang ikut mengunjungi usaha yang dirintis Suci itu.

Teteh – begitu Yanti Sugrianti akrab dipanggil, red- menuturkan bahwa dirinya  sempat melakukan wawancara dengan salah seorang pekerja penyandang disabilitas di PT RJL

Masih kata Teteh pekerja penyandang disabilitas itu bernama  Zuhariyadi (26) asal Kepenghuluan (setingkat desa, red)  Sekapas, Kecamatan Rantau Kopar, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil). Diketahui kaki kiri pria itu terpaksa diamputasi karena menderita tumor

 Yadi-sapaan akrab Zuhariyadi, red-, lanjut Teteh   mengaku sudah dua tahun bekerja di PT RJL. Kendati  memiliki keterbatasan fisik, akan tetapi pengelola RJL memperlakukannya sama dengan pekerja lain. Itupula yang membuat dia nyaman karena  dianggap seperti keluarga.

“Dari kerja sistem borongan itu Yadi bisa membantu keluarganya di  kampung tentu patut kita beri apresiasi. Karena RJL memberi kesempatan bekerja bagi disabilitas mungkin tidak semua perusahaan mau melakukan hal serupa,” puji Teteh.

Yang membuat Teteh salut lagi PT RJL mau mendidik Yadi sehingga memiliki keahlian menjahit yang tak kalah dengan orang normal lainnya.

Oleh karena itu, Teteh berharap para penerima manfaat TJSL PT PHR lainnya meniru kesuksesan RJL sehingga bisa membuka lapangan kerja.

Sebab,  kata dia, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. (UMKM) salah satu sektor yang bisa menyerap tenaga kerja terbilang besar. Tidak hanya itu saja, di  sektor informal diperlukan keterampilan. “Saya rasa untuk pekerjaan menjahit tidak perlu ditanyakan ijazahnya apa? Kalau penerima manfaat program TJSL PT PHR lainnya juga maju paling tidak bisa membuka lapangan pekerjaan. Ya, mengurangi pengangguran,” tukasnya.

Pelajaran lain yang diperoleh dari perjalanan Suci, sebut Teteh, menunjukan bahwa segala sesuatu perlu proses. “Pelajaran positif bagi penerima manfaat TJSL lainnya untuk sukses memerlukan proses. Jangan mudah putus asa. Ya, tetap semangat,” imbuhnya. 

Terkait Yadi, Suci pun menjelaskan bahwa upah penyandang disabilitas itu lebih tinggi sekitar Rp20 ribu diatas pekerja normal lainnya. “Sebelum itu saya tanya kepada pekerja lain apa ikhlas? Mereka jawab ikhlas. Ya, saya bangga karena rasa persaudaraan dan solidaritas antar pekerja terbilang tinggi  tentu ini baik bagi kemajuan RJL,” terang Suci saat berbincang-bincang dengan www.pantauriau.com, Sabtu (31/8) melalui telpon seluler.

Lain Yadi lain pula dengan Zulkifli (67), untuk nama terakhir ini RJL tetap mempekerjakannya meski dari segi jumlah hasil jahitannya jauh dari pekerja lainnya yang terbilang muda.

Lantas apa alasan Suci masih mempekerjakan pria lanjut usia (Lansia) yang produktivitasnya sudah menurun? Perempuan itu menjelaskan semuanya berpijak dari konsep berbagi dan inklusivitas.

Syahdan  inilah  pula yang membuat pekerja PT RJL betah bekerja diperusahaan yang digawangi perempuan itu. Tidak hanya sebatas materi yang mereka peroleh menyusul banyak order dari pihak ketiga. Akan tetapi nilai-nilai kemanusiaan dikedepankan.

"Kalau kita bicara target produksi tentu Pak Zul –panggilan akrab Zulkifli, red-  tidak bisa mengejar pekerja yang usianya relatif lebih muda darinya. Begitu juga dilihat dari sisi bisnis, dengan pemakaian listrik yang sama tapi hasilnya jauh dari yang lain. Tapi kita semata-mata tidak berbicara untung-rugi. Akan tetapi  salah satu filosofi RJL berdiri bisa  berbagi dengan orang sekitar kita,” papar Suci panjang lebar seraya menambahkan bahwa dia dan suaminya sepakat untuk tetap  mempertahankan Zulkifl sampai kapanpun. 

Lalu apa penyebab inklusivitas seorang Suci begitu tinggi? Dia menjelaskan  filososi kata "Lestari"  satu kata yang ada  dalam penamaan Rumah Jahit Lestari memiliki makna mendalam tidak hanya sekedar nama tanpa makna.

Masih kata dia, makna  ‘Lestari’ itu berarti terus tumbuh; dari satu menjadi dua, dari dua jadi tiga dan seterusnya sehingga dia menjadi lestari, langgeng dan terus tumbuh.

“Ya, filosofi  kami lainnya yaitu memberdayakan masyarakat lokal dengan konsep berbagi dan inklusivitas,” tambahnya.

Ditambahkannya  filosofi dan konsep itu diperolehnya dari  PT PHR . Karena dalam menjalankan program TJSL perusahaan plat merah itu mengkedepankan nilai-nilai   inklusivitas. 

Ya, mengingat definisi inklusivitas sendiri  yakni   penghargaan dan pengakuan terhadap keberagaman dan perbedaan, serta upaya untuk menerima dan berinteraksi dengan orang lain yang berbeda.

.”Sebagai binaan PT PHR nilai-nilai itu yang saya dapat dari mereka. Makanya saya jaga sebagai tanda terimakasih. Apalagi nilai-nilai itu luhur,” ungkap Suci.

Ternyata setiap wartawan memiliki sisi lain memandang kesuksesan yang diraih Suci,  jurnalis asal Kota Dumai, Syafriwan Nasution misalnya, dia menilai mental  pantang menyerah  menjadi kunci keberhasilan perempuan itu. “Semangat pantang menyerah dan mau mengambil hikmah dari kegagalan (mengalami kerugian, red) serta mau belajar keras dari tidak tahu menjadi tahu, selanjutnya berproses sehingga akhirnya meraih kesuksesan, ini pelajaran yang sangat berharga,” ungkapnya

Sistematis dan Disiplin 

Lantas timbul pertanyaan apa resep mujarab Suci sukses  menahkodai RJL? Ternyata jawabannya dia mengandalkan sistim yang telah ditetapkan dengan disipilin.

Dalam menjalankan RJL, Suci membentuk beberapa divisi atau tim dan semuanya dijalankan dengan sistim yang telah ditetapkan.

Untuk Tim Marketing, misalnya, ketika RJL memperoleh keuntungan sebesar Rp80 ribu dari 1 pieces (pcs) jahitan maka Suci membagi empat keuntungan sehinga menjadi Rp20 ribu (keuntungan berapa pun dia tetap membagi empat, red). Lalu bagaimana pendistribusian dari Rp20 ribu hasil keuntungan dibagi empat itu?

 “Rp20 ribu pertama merupakan bagian saya  dan suami. Selanjutnya Rp20 ribu kedua  sebagai saving atau simpanan yang  digunakan untuk pembayaran sewa Ruko, listrik, pajak dan sebagainya,” paparnya.

Lalu bagaimana dengan Rp20 ribu ketiga dan keempat? “ Rp20 ribu ketiga untuk gaji kru bukan penjahit. Seperti Tim Media sosial (Medsos) yang terdiri dari tiga orang juga termasuk Tim IT dan admin mereka menerima upah bulanan plus termasuk yang mamasang kancing.” terangnya.

Masih kata dia,  Rp20 ribu terakhir untuk untuk Tim Marketing yang terdiri  sekitar  20 orang lebih. Akan tetapi, lanjut Suci, Rp10 ribu dari Rp20 ribu disimpan bagian  admistrasi. “Ini digunakan untuk membeli minyak kendaraan, makan dan uang jalan,” terangnya.

Saat pagi hari, lanjut Suci, puluhan orang yang tergabung dalam Tim Marketing RJL sudah berjalan  menawari kontrak atau PO keperusahaan yang ada di Kota Duri.

Agar tepat sasaran Suci memiliki data sekitar 400 perusahaan yang ada di Kota Duri dan terhubung dengan Disnaker setempat.  “Ya, konek dengan instansi terkait. Jadi kita tahu kapan kontrak perusahaan itu berakhir atau diperpanjang,” katanya.

Selanjutnya puluhan orang itu dibagi menjadi lima  hingga enam orang untuk mendatangi perusahaan yang memperpanjang atau mendapat kontrak baru dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) sebagai mitra mereka.

Sebelum Tim Marketing itu berangkat, lanjut Suci,  mereka terlebih dahulu dibekali profil perusahaan, penawaran kontrak dan sebagainya. Seterusnya sekitar pukul 12.00 WIB mereka kembali ke kantor untuk melaporkan hasil penawaran yang mereka ajukan. 

Pertanyaan menggoda pun sempat menyeruak ke permukaan  apa yang menjadi alasan Suci melakukan   penawaran dengan melibatkan lebih dari tiga orang?

Suci pun menjelaskan dari pengalaman yang ada, jika seorang yang melakukan penawaran sulit untuk berhasil. Dengan adanya lima  sampai enam  orang membuat manajemen perusahaan akan berpikir ulang jikalau menganggap mereka sebelah mata. 

“Makanya dalam melakukan penawaran ‘tema besar’  yang dikemukakan perberdayaan masyarakat tempatan. Ya, mulai dari Tim Marketing, penjahit dan sebagainya adalah warga Kota Duri,  tempatan atau lokal. Wajar di era otonomi daerah (Otda) seperti saat ini mereka diberdayakan, “ ulas Suci seolah-olah membuka resep jitunya yang -mungkin- tidak  banyak diketahui orang. 

Lalu bagaimana cara pembagian pendapatan mengingat  Tim Marketing  melibatkan  5 s/d 6 orang saat melakukan penawaran? 

Untuk yang satu ini, Suci mengilustrasikan  jika  kelompok Tim Marketing mendapatkan Purchase Order (PO) sebanyak 300 pcs maka dikalikan Rp10 ribu hasilnya Rp3 juta. Selanjutnya nilai nominal itu dibagi anggota tim yang melakukan penawaran ke perusahaan.

“Untuk Tim Marketing memang tidak memperoleh gaji bulanan seperti divisi lainnya? Biar mereka tetap semangat mengejar target. Ya, kalau ingin mendapatkan penghasilan besar mereka harus proaktif melakukan penawaran. Karena itu pendapatan mereka tidak terbatas,” pungkasnya.

Lalu bagaimana dengan  dua tim lainnya yaitu  media sosial (Medsos) dan Tim Informatika Teknologi (IT)? Untuk Tim Medsos, misalnya, Suci menjelaskan bahwa divisi itu dibentuk menyusul kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Dumai dalam rangka memperingati Hari Lahir (Harlah) Pancasila di Kota Dumai, Sabtu (1/6/24) lalu.

“Tujuannya meningkatkan branding RJL di dunia maya melalui sejumlah aplikasi seperti facebook, instagram, tiktok, X (d/h twitter, red), youtube dan sebagainya,” terangnya.

Masih kata perempuan ceria ini, selain meningkatkan branding RJL, memaksimalkan Medsos juga sebagai bentuk antisipasi kemajuan teknologi terutama digital dan turunannya.

“Di era digital seperti saat ini maka kita dituntut untuk memanfaatkan semua Medsos yang ada  untuk kemajuan,” katanya.

Sementara Tim IT bertugas mengurus  masalah perijinan atau birokrasi melalui online seperti pajak, Standar Nasional Indonesia (SNI), kontrak atau tender dan sebagainya

Bisa dikatakan  dengan adanya Tim Medsos dan Tim IT maka Suci dan RJL benar-benar memaksimalkan transaksi melalui media online yang menurut sebagian orang menjadi salah satu ciri masyarakat di era modern.

“Kita bekerja sistematis dan disiplin, karena itulah  semuanya langsung dibawah kontrol saya dan suami,” tegasnya.

Usaha  tidak akan pernah menghianati hasil, begitu juga yang terjadi kepada Suci dan RJL. Saat ini diketahui RJL telah memiliki  84 orang pekerja.

Bisa ditebak untuk membayar gaji para karyawan Suci  setiap bulan mengalokasikan anggaran tidak sedikit. 

Besarnya jumlah anggaran payroll atau penggajian yang disiapkan sesuai dengan ouput atau hasil produksi RJL yang setiap satu bulannya diprediksi menghasilkan uang miliaran rupiah. 

Soal pendapatan Suci enggan merincinya. “Rahasia perusahaan. Adalah….,” selorohnya sembari berjalan kecil  menjawab pertanyaan www.pantauriau.com.

Yang terang  dalam sebulan RJL rata-rata bisa menyelesaikan 1.500 pieces pesanan. Apalagi dibulan tertentu seperti Januari, April, Juli dan September mereka panen orderan. Karena kontrak perusahaan mitra atau sub kontrak PT PHR baru diperpanjang. 

Sebagai informasi  untuk baju lapangan tahan api yang bahannya telah memiliki sertifikat dari National Fire Protection Association (NFPA) dibandrol sekitar Rp1,2 juta, bisa dibayangkan jika dipesan 1000 pcs. Belum lagi pakaian jenis lainnya. 

Ternyata untuk memasarkan produknya,  RJL tidak hanya mengandalkan pangsa pasar lokal. Namun  merambah ke luar Provinsi Riau. Diantaranya  Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), Sumatera Utara (Sumut), Jambi sebagian pulau Jawa, Sulawesi bahkan sampai ke  Papua.

Kerjasama dengan sejumlah perusahaan besar dan merambah ke luar Provinsi Riau berdampak positif kepada RJL. Paling tidak yang awal berdiri berstatus Kelompok Usaha Bersama (KUB) kini berubah menjadi Perseroan Terbatas atau PT.

“Berbadan hukum PT biar memudahkan RJL melakukan penawaran, ikut tender dan sebagainya,” terangnya.

Berkembang pesatnya usaha Suci, sekitar awal tahun 2022 PT RJL pun pindah. Sebelumnya berlokasi persis di depan Simpang Ponpes Al Jauhar Ikatan Keluarga Haji Duri (IKHD) Jalan Asrama Tribrata, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, atau jalan menuju TPU Jambon, pindah ke Jalan Hangtuah, No 4 dan  10 Desa Tambusai Batang Dui, Kota Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Untuk menyewa satu Ruko per tahun , Suci merogoh kocek sekitar Rp30 juta.

Langkah ini diambil Suci mengingat Jalan Hangtuah adalah jantung Kota Duri termasuk ‘segi tiga emas’ meliputi Jalan Sudirman  dan Jalan Pertanian. Sehingga memudahkan konsumen mendatanginya. Disamping meningkatkan prestise perusahaan.   

Setelah mewancarai Suci dan melihat aktivitas pekerja di PT RJL, puluhan jurnalis itu berdecak kagum atas pencapaian yang diraih perempuan bermental baja yang juga menjadi ibu, kakak, adik dan sejawat bagi puluhan pekerjanya.

Tanggapan menarik datang dari jurnalis televisi nasional asal Kota Pekanbaru, Indra Yose, kameraman itu menyebutkan bahwa antara PT PHR dan Suci Sustari terjalin simbiosis mutualisme yang kokoh karena mereka sejiwa, sepaham dan sejalan.

“Disatu sisi Suci yang kaya akan ide, inovatif, nekat dan bermental baja membutuhkan wadah untuk mewujudkan ekspresi atau mimpinya. Disisi lain, PT PHR membutuhkan mitra binaan seperti dia. Ya, jadi klop. Pelajaran lainnya bahwa keberhasilan membutuhkan proses seperti rugi, gagal dan sebagainya. Jadi apa yang diraih Suci saat ini buah manis dari proses yang dilaluinya,” papar Indra Yose panjang lebar.

Dibagian lain, Indra Yose memberikan apresiasi dengan apa yang dilakukan PT PHR terhadap mitra binaannya. Seperti memberikan peluang pasar bagi mereka.

“Dengan jalan memberikan rekomendasi agar menggunakan jasa UMKM binaan meraka kepada pihak ketiga atau mitra  tentu berdampak positif bagi kemajuan kelompok masyarakat yang  masuk dalam program TJSL PT PHR,” katanya. 

Terkait program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) termasuk Corporate Social Responsibility (CSR) Indra Yose berpendapat seyogianya pendekatan yang dilakukan  PT PHR patut dicontoh dalam mengaplikasikan program kemitraan .

 "Bantuan itu tidak hanya sekedar melepas kewajiban yang diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tapi idealnya dibina melalui pendampingan sehingga bantuan itu memiliki nilai tambah dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar perusahaan termasuk menciptakan pasar bagi mitra binaan,"  ingatnya.

Lebih jauh Indra Yose mengingatkan dengan meningkatnya perekonomian masyarakat sekitar perusahaan  melalui sentuhan program kemitraan dan lainnya  diharapkan akan tercipta persebatian antara masyarakat dengan perusahaan.

"Ya, diharapkan timbul rasa memiliki warga sekitar terhadap perusahaan. Sehingga bisa meredam jika terjadi "gesekan". Intinya mereka dikasih kail, bukan ikan. Jangan sampai saat menyalurkan bantuan dipublikasikan sejumlah media. Sayang, tanpa pembinaan dan pendampingan yang memadai. Ya, terasa kurang bermakna, karena kita tidak tahu apakah  mereka berhasil atau tidak," pungkasnya.

Ancaman Serius 

Matahari  perlahan meninggi. Sinarnya tak lagi jatuh miring . Bayangan pohon  semakin mendekat ke batang. Menjelang siang, Kamis (22/8), puluhan orang turun dari dua kendaraan  disalah satu restoran ternama  di Jalan Desa Harapan, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Ya, mereka adalah 23 jurnalis dari berbagai kabupaten dan kota di Provinsi Riau seperti Bengkalis, Siak, Rokan Hilir, (Rohil), Dumai dan Pekanbaru yang mengikuti kegiatan peliputan terhadap dua mitra binaan program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).

Usai makan  siang sebelum menuju ke TJSL PT PHR lainnya, Bank Sampah Pematang Pudu Bersih (BSPPB) yang berlokasi di Jalan  Bakti Kopelapip Ujung RT 001/ RW 016, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, sejumlah jurnalis masih membicarakan kemajuan yang diraih binaan PT PHR yaitu PT RJL.

Beragam pendapat mencuat kepermukaan menyusul liputan pertama diperusahaan yang dibesut Suci Sustari.

Ya, dari perbincangan ringan www.pantauriau.com dengan sejumlah jurnalis yang mengikuti kegiatan anjang sana ke dua program TJSL PT PHR mereka sepakat bahwa perjalanan keberhasilan Suci Sustari ke puncak sangat inspiratif.

“Perjuangan, kerja keras yang dilakukan Suci untuk  mewujudkan impiannya   sangat insipratif. Tapi, semuanya melalui proses tidak sekonyong-konyong. Disisi lain PT PHR memperlakukan binaannya serius dan sungguh-sungguh bahkan sangat humanis,” ujar wartawan  asal  Kota Dumai Syafriwan Nasution.

Mereka juga sepakat bahwa salah satu pelajaran berharga dari peliputan kisah pionir binaan PT PHR yakni berangkat dari nol hanya bermodalkan semangat pantang menyerah, selalu mengkedepankan ide, kreasi, inovasi dan sebagainya. Bukan sebaliknya  serba instan  tanpa proses.

Ya, pendapat menarik datang dari wartawan media elektronik nasional asal Kota Pekanbaru lainnya,  Fitra Asrirama,  bahwa tidak dipungkiri di era  digital modern saat ini maka dalam hal apa pun memudahkan seseorang untuk memperoleh sesuatu melalui akses cepat tanpa perlu bersusah  payah atau berproses.

“Ini terjadi hampir disegala sendi kehidupan mulai dari karir, politik, ekonomi, hiburan termasuk untuk memperoleh makanan dan sebagainya secara instan tanpa harus melalui proses. Saya berpendapat  pola pikir serba instan sangat berbahaya,” terangnya.

Alih-alih pola pikir serba instan itu, lanjut dia, tidak jarang ‘menina bobokan’ seseorang. Karena semuanya serba instan, cepat, dan tidak melalui proses yang terkadang memerlukan waktu.

Padahal, lanjut dia, alam bekerja berdasarkan sebuah proses yang teratur, seimbang, selaras dan dinamis.

Dengan pola pikir serba instan yang menurut Fitra Asrirama berlawanan dengan kerja alam maka akan membawa dampak negatif terhadap individu yang lebih mengkedepankan hasil cepat ketimbang menghargai  sebuah proses.

Adapun dampak negatif dengan pola pikir instan, lanjut wartawan senior kota bertuah itu, diantaranya berpengaruh terhadap ketahanan mental, menyebabkan ketagihan,  ketergantungan, malas, miskin ide, kreasi dan sebagainya.

“Ketika mengalami kendala atau kegagalan maka individu yang lebih mengkedepankan pola pikir serba instan akan mudah frustasi, putus asa, galau dan sebagainya. Sebab kurangnya kesabaran, ketaletenan serta keuletan. Ya, karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan gara-gara semuanya ingin serba cepat. Padahal dari kesulitan atau kendala yang dihadapi tidak jarang  dari sanalah solusi  dan  jawaban diperoleh. Bukankah pengalaman menjadi guru terbaik?” ungkap Fitra Asrirama balik bertanya.

Masih kata dia, pola pikir serba instan juga berdampak kepada kinerja seseorang, karena ingin serba cepat sehingga mereka cenderung tergesa-gesa atau terburu-buru maka  mengurangi kualitas hasil yang didapat

“Dalam hal apapun fokus pada proses sangat penting. Sehingga hasilnya lebih baik ketimbang tergesa-gesa apalagi mengabaikan proses yang seharusnya dilalui. Ini merupakan pelajaran berharga yang bisa dipetik dari Ibu Suci  terlebih bagi generasi muda yaitu jangan abaikan proses, karena dari sanalah semuanya berawal,” kata Fitra Asrirama mewanti-wanti.

Jika pola pikir serba  instan berhadapan dengan sejumlah konsekuensi, lantas apa keuntungan didapat dari menghargai sebuah proses dalam mencapai kesuksesan?

Menurut Fitra Asrirama individu yang lebih mengkedepankan proses maka akan berimbas positif kepadanya. Seperti memperoleh rasa bahagia serta kepuasan yang luar biasa, meningkatan motivasi dan ketahanan mental dan sebagainya.

“Kesuksesan yang diperoleh melalui proses, apalagi meletihkan ketika berhasil tentu sangat berkesan. Disisi lain kalau pun gagal maka akan meningkatkan motivasi karena ada tantangan yang harus ditundukkan termasuk mental mereka cenderung menjadi lebih kuat. Sebab sudah merasakan pahit getirnya proses atau usaha yang dilakukannya. Jadi tidak terkejut  lagi ketika hasilnya tak sesuai harapan,” terangnya.

Keuntungan lainnya mengkedepankan proses, masih kata dia, bermuara kepada pertumbuhan kemampuan diri yang signifikan serta mendapatkan pelajaran atau pengalaman berharga termasuk kearifan  dan kebijaksanaan.

“Dalam menjalani proses maka kita akan melewati segala aspek mulai rasa cemas, takut dan sebagainya. Sehingga terkadang kita tidak percaya mampu melewati semua itu, tentu ini menjadi pengalaman berharga. Ya, proses ini berimplikasi terhadap pembentukan karakter yang positif,” terangnya.

Lebih jauh Fitra Asrirama mengaku cemas dengan pola pemikiran serba instan pada generasi muda. Kecemasan itu, lanjut dia,  ditambah lagi dengan sikap individualisme  menyusul merambahnya  penggunaan telpon seluler.

“Dengan sendirinya mereka rapuh. Ya, karena berpola pikir serba instan   ditambah lagi interaksi dengan individu lainnya berkurang. Karena waktu tersita melalui aplikasi lengkap ditelpon seluler. Sehingga ketika menghadapi masalah langsung panik bahkan tak jarang mengambil langkah nekat. Ini banyak terjadi di Negara-nagara modern dan maju. Sebagai orang tua saya menilai ini ancaman serius,” bebernya panjang lebar.

Setali tiga uang dengan  rekan sejawatnya yang lain, Fitra Asrirama berpendapat kisah inspiratif dari kesuksesan binaan PT PHR perlu dipublikasikan dengan gencar. “Selain memotivasi penerima manfaat program TJSL lainnya termasuk bagi pebisnis pemula, maka ini menjadi pembelajaran berharga untuk generasi penerus bangsa  bahwa meraih kesuksesan itu tidak semudah membalikan telapak tangan, apalagi instan,”  katanya. 

Bahayanya berpikir serba instan bagi anak dan remaja termasuk generasi muda juga dikemukakan   Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto.

“Anak jangan diajar cara berpikir instan. Itu akan berbahaya bagi karakter tumbuh kembang dan perilaku mereka,” kata Susanto dilansir www.kpai.go.id.

Lebih jauh Susanto mengatakan, apabila anak sudah terbiasa berpikir instan sejak dini itu akan berakibat pada pola pikir saat anak tumbuh remaja dan dewasa.

Ia mencontohkan kasus perampasan sepeda motor atau begal yang kerap terjadi belakangan ini dan pelakunya masih dalam usia anak atau remaja. Menurut Susanto, salah satu faktor pemicu anak menjadi begal karena cara berpikir instan.

“Mereka butuh uang dan ingin mendapatkannya secara instan,” kata Susanto.

Menurut hemat www.pantauriau.com apa yang dikemukan sejumlah nara sumber ditulisan ini memberi inspirasi dan penekanan tentang konsep berbagi, pantang menyerah serta membuang jauh-jauh pola pikir instan untuk meraih kesuksesan.

Karena apa yang diperoleh Suci Sustari yang awalnya bukan siapa-siapa menjadi inspirasi bagi  orang-orang sekitarnya  bukanlah ujuk-ujuk melainkan melalui proses berupa tenaga, waktu, pikiran dan lainnya. 

Untuk Suci Sustari misalnya,  dia sempat  rubuh atau tumbang sebanyak dua kali, sekitar bulan Juni dan Juli 2021 akibat vertigo yang menderanya. 

“Ya, semuanya harus saya pikirkan agar KUB (sebelum berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), red) RJL yang baru berdiri tetap tumbuh dan berkembang serta memberi manfaat bagi banyak  orang. Apa yang saya peroleh sekarang ini semuanya  berproses,” pungkasnya.

Apa yang dikemukakan perempuan bermental baja itu  tidaklah       berlebihan, karena Suci juga terlebih dahulu melewati proses yang hasilnya apa yang diraih sekarang. Bukankah semuanya akan indah  pada waktunya? Dan bukankah  hasil tidak pernah mengkhianati usaha? Begitulah cara alam bekerja untuk menemukan garis takdirnya. (yonrizalsolihin)

 




[Ikuti PANTAURIAU.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0813 6366 3104
atau email ke alamat : pantauriau@gmail.com
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan PANTAURIAU.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan